Minggu, 28 Februari 2016

Ancaman Hegemoni Liberalisasi Komoditas Pendidikan Tinggi

Oleh : M. Ihwanudin 1
Lahir pada akhir 2008, Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) harus menemui ajal pada Rabu, 31 Maret 2010. Setelah melewati proses persidangan panjang, Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) secara bulat menyatakan UU BHP inkonstitusional. Seluruh materi Undang-Undang ini otomatis ‘batal’ dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. “Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD).” Padahal UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan memberikan ketentuan bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara ( www.hukumonline.com ).
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Undang-Undang tersebut menjadi sebuah titik kemerdekaan dan kemenangan bangsa Indonesia dalam melawan upaya masuknya paham liberal dalam dunia Pendidikan Indonesia. Sebelumnya regulasi tersebut banyak menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan baik sivitas akademika dan praktisi dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan, sejak masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Perdebatan berlanjut dengan munculnya bebarapa regulasi lain baik Undang-Undang dan Perpres yang mengisyaratkan Perguruan Tinggi Negeri harus Bebadan Hukum atau yang sering dikenal PTNBH, dimana PTN tersebut memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan pendidikan yang dikhawatirkan berpotensi praktek liberalisasi dan komersialisasi Pendidikan Tinggi. Disamping itu alasan pragmatis yakni membuat biaya kuliah mahal, yang berdampak pada semakin sedikit peluang masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi masyarakat yang memiliki keinginan melanjutkan pendidikan tinggi.
Liberalisasi dikemukakan pertama kali oleh Alexander Rustow dan Walter Eucken pada tahun 1930-an yang lebih dikenal luas dalam bidang ekonomi. Liberalisme memperkenankan penyelenggara ekonomi pasar secara bebas dan Negara hanya bertugas sebagai fasilitator pasar bebas tersebut dengan mengeluarkan regulasi atau undang-undang. Secara harfiah, Liberalisasi berasal dari bahasa Latin “Liberalis” yang diturunkan dari kata “Liber” yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat dan tidak tergantung”.
Secara umum, paham liberal ini sangat menjunjug tinggi kebebasan individu dalam melaksanakan hajat hidupnya, martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (Mangunhardjana, 1997:148). Dengan demikian, Liberalisasi adalah memberikan kebebasan atau kelulasaan dalam melakukan suatu tindakan.
Liberalisasi menjadi masalah ketika paham ini menyebar dan dipraktekkan tanpa adanya kontrol dari para penganutnya, rasa optimistis luar biasa terhadap dirinya sendiri dan merasa tidak perlu ada campur tangan orang lain atau pihak luar. Regulasi yang telah berlaku bukan untuk membatasi mobilitas seseorang, namun untuk menjamin dan memberikan proteksi pada gerak dan perilaku liberalnya. Hampir praktek liberal sering kita temui dalam beberapa aspek kehidupan.[2]Di bidang pendidikan, banyak pertentangan berkaitan dengan semakin sulitnya akses masuk masyarakat ke perguruan tinggi, hampir secara umum terkendala biaya yang mahal. Ini dianggap bukti pemerintah tak berdaya dalam menyelenggarakan pendidikan yang bisa dijangkau oleh warga negaranya.
Liberalisasi lambat laun semakin mendarah daging seiring perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan berbagai macam prakteknya. Masyarakat semakin terbiasa dengan liberalisasi bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan hak kelola kepada desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi daerah administrasi yang lebih dikenal dengan “Otonomi Daerah”. Secara tidak langsung, sejak berlakunya kebijakan tersebut, pemerintah mencoba memperkenalkan istilah “Otonomi Pendidikan” kepada masyarakat.
Jika melihat sejarah, Liberaliasi pendidikan adalah konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization), yaitu sejak tahun 1994. Rakyat (melalui wakilnya di DPR) secara implisit berarti juga sudah setuju untuk bergabung dengan WTO, tepatnya sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”. Sebagai anggota WTO,  berarti Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari  berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa  pendidikan. Apalagi, sejak negara-negara anggota WTO pada bulan Mei 2005 menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Tingginya angka putus sekolah membuat anak-anak Indonesia tidak bisa memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan, dari jumlah penduduk Indonesia ± 250 juta hanya 11% masyarakat Indonesia yang bisa mencicipi perkuliahan dengan rentang umur 19-24 tahun. Bila kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, 23% sudah dapat menikmati pendidikan tinggi. Pentingnya meningkatkan penduduk dengan jenjang pendidikan tinggi untuk meningkatkatkan kompetensi dalam menghadapi persaingan global 3.
Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan. Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, dan secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Seperti dikatakan oleh Effendi (2005), dalam tipologi yang sering digunakan oleh para ekonom, bahwa kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi ke dalam 3 (tiga) sektor. Sektor primer meliputi semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri yang mengubah wujud benda fisik (Physical Services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (Information And Communication Services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi ini, WTO beranggapan  bahwa pendidikan merupakan salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan utamanya adalah mentransformasi orang yang tidak atau minim pengetahuan dan ketrampilannya menjadi orang yang bertambah pengetahuan dan ketrampilannya.
Perdagangan bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari lokasinya di arena global, dapat membuka peluang atau menguntungkan tetapi dapat juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang.Perdagangan bebas jasa pendidikan tinggi kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antar negara atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu menuju ke pasar kerja global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu mengembagkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan atau Knowledge Based Economy.
Tapi dalam kondisi interdependensi asimetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, sedangkan tujuan-tujuan pendidikan lainnya akan dikorbankan. WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-Border Supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan On-Line Degree Program, atau Mode 1; (2) Consumptionabroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2; (3) Commercial

presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk Partnership,
Subsidiary, Twinning Arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan (4)
Presence Of Natural Persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah Negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit mungkin adalah pendorong utamanya, perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 2004).
Masuknya asing dalam sektor pendidikan tanah air memang masih belum signifikan, beda dengan sektor lainnya dan banyak menuai Pro-Kontra kalangan masyarakat. Universitas di Indonesia dinilai harus membuka diri terhadap pihak asing untuk meningkatkan kapasitasnya. Dengan bekerja sama dengan universitas dari luar negeri yang telah mumpuni, maka akan turut meningkatkan kapasitas mahasiswa. Indonesia sebaiknya mencontoh Singapura dan Malaysia yang telah lebih dulu menerapkan sistem terbuka seperti itu. Ketika Massachusetts Institute of Technology (MIT) datang ke Singapore, pemerintah Singapore mengakomodasi dengan memberi fasilitas lahan dan lainnya. Mereka sangat menyambut kedatangan universitas asing. Alhasil, kualitas pendidikan Singapura semakin meningkat, dan orang-orang Indonesia pun malah ke sana untuk belajar.
Saat ini ada 5,6 juta siswa di Indonesia yang berada di tingkat sekolah dasar namun hanya 2,3 juta siswa yang menamatkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Lalu, sebanyak 22 persen orang Indonesia yang berusia 15 hingga 24 tahun tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu, dalam tingkat universitas, hanya tiga universitas di Indonesia yang mampu bertengger ke dalam 400 universitas terbaik secara global. Kenyataannya, hingga saat ini belum ada satu universitas pun dari Indonesia yang mampu masuk ke dalam 100 universitas teratas di Asia atau global. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak perguruan tinggi asing bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia4.
Selain dukungan leberalisasi diatas, beberapa kalangan ada yang menolak/kontra bentuk otonomi pendidikan tinggi karena masih dianggap belum jelas mengenai pelaksanaan dan pengawasannya serta syarat akan liberalisasi. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai kebangsaan dan luhur pendidikan akan sirna dan sulitnya akses bagi masyarakat kurang mampu untuk menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas, karena adanya deregulasi atau hilangnya peran pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, justru dilaksanakan oleh asing yang cenderung liberal dalam menetapkan biaya pendidikan yang mahal. Keyataan, memang pemerintah memberi bantuan pendidikan tinggi bagi kalangan miskin yaitu Bidik Misi yang jumlahnya ditargetkan naik 15 ribu di tahun 2016 dari 60 ribu menjadi 75 ribu kuota yang diperebutkan oleh jutaan masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan tingginya dengan jumlah uang biaya hidup ditargetkan naik dari Rp 600 ribu menjadi Rp 1 juta, angka ini menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan ekonomi makro5.
Bahkan bayak kasus mahasiswa yang berhenti melanjutkan kuliah karena mahalnya biaya kuliah. Seperti yang dialami teman penulis inisial MT yang terancam DO (Drop Out) lantaran biaya kuliah yang terlampau mahal. Hal ini terjadi di salah satu universitas berlabel PTNBH di Surabaya yang saat ini menempati peringkat 4 Indonesia, meskipun kabar ini lenyap dan kurang terekspos media. Dengan beban UKT yang hampir Rp 7.000.000 tiap semester sekalipun dengan menempuh jalur Banding UKT untuk mengharap keringanan dari manajemen universitas, hal itu nihil. Dengan semangat solidaritas, beberapa kawan mahasiswa lainnya saling gotong-royong menyisahkan uang untuk membantu MT hingga terkumpul uang hampir Rp 8.000.000 dimana uang tersebtu dialokasikan untuk membayar UKT dan biaya hidup di Surabaya. Ini bukti nyata lemahnya pemerintah dan kuatnya liberalisai pendidikan tinggi di tanah air.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Bagian Ke-5 Pengelolaan Perguruan Tinggi, Pasal 62, (1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi 6 untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma 7. Dilanjutkan dalam Pasal 36 bahwa Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip :
 (a) Akuntabilitas, (b) Transparansi, (c) Nirlaba, (d) Penjaminan Mutu ;dan, (e) Efektivitas dan efisiensi. Dalam bab ini juga disebutkan bahwa Penyelenggara  Pendidikan Tinggi memiliki hak Otonomi yang meliputi bidang akademik dan nonakademik.
            Selain itu, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 6 bahwa perguruan tinggi menentukan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Selanjutnya dalam Pasal 51 Ayat 1-2 bahwa : (a) pengelolaan satuan pendidikan, anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah, dan (b) pengelolaan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminana mutu, dan evaluasi transparan.
Berdasarkan kebijakan di atas, memang tidak secara terbuka pemerintah mendukung liberalisasi pendidikan, namun dengan adanya otonomi Pendidikan Tinggi memungkinkan praktek liberalisasi pendidikan Indonesia akan benar-benar terjadi.Hal yang kentara ketika pelepasan tanggung jawab pemerintah, melihat dari pengalaman PTNBH seperti UI, ITB, UGM, UNAIR, IPB, USU,dan UPI yang semakin mahal dan sulit terjangkau oleh kalangan bawah yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah sesuai amanat UUD 1945. Potensi liberalisasi pendidikan tinggi begitu besar melalui otonomi pendidikan tinggi bagi PTNBH. Berbagai alasan yang kemungkinan banyak dipakai adalah meningkatkan mutu akademik dan non akademik, memperkuat posisi dalam persaingan dan memperkuat keuangan universitas.
Alasan tersebut memang perlu terealisasi, masalahnya adalah bagaimana pelaksanaan dan pengawasan yang masih abstrak. Budaya criminal dan korupsi masih tinggi di negeri setengah demokrasi ini. Seakan-akan tidak ada orang yang amanah dalam menjalankan tugas sesuai dengan aturan. Beberapa hal menurut penulis dengan adanya PTNBH yang memiliki hak otonomi pendidikan tinggi justru membuka peluang liberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Salah satunya dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 65 ayat 3 berbunyi PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;. Hal ini memang benar karena tanah yang diduduki merupakan milik Negara sebisa mungkin setiap kegiatan komersial mampu menghasilkan pemasukan bagi Negara. Kerjasama yang melibatkan Universitas dengan pihak perusahaan demi mendukung pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Tentunya akan ada MOU yang isinya rahasia. Pengalaman yang penulis dapat selam ini kerjasama yang melibatkan korporat lebih cenderung kepada bisnis di dalam universitas. Mereka memanfaatkan jumlah mahasiswa untuk memasarkan produk ketimbang isu-isu pengembangan pendidikan meskipun tujuan baik untuk memperkuat keuangan universitas.
Liberaliasi sesungguhnya diperlukan untuk memberikan keleluasaan kepada stakeholders dalam menyelenggarakan pendidikan, misalnya melalui pemberian kesempatan kepada swasta ikut menyelenggarakan pendidikan, pemberlakuan otonomi pendidikan tinggi, serta Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun demikian perundangan yang mengatur liberalisasi ini harus mampu mengakomodasi keberlangsungan nilai-nilai luhur bangsa, dilakukan secara gradual sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat, dan memberikan batasan yang tegas   agar   masuknya   pemodal   asing   (penyelenggara  pendidikan luar negeri) tidak mematikan penyelenggara pendidikan lokal. Hal ini dikarenakan titik krusial penolakan sejumah kalangan terhadap liberalisasi pendidikan adalah pada konteks terbukanya peluang asing mendikte sistem pendidikan nasional dan berubahnya lembaga pendidikan yang bernuansa sosial menjadi ajang bisnis.
Dalam hal ini, perlu diwaspadai bahwa pendidikan dan khusunya pendidikan tinggi bukan semata-mata jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, tetapi yang penting adalah proses untuk “to preserve national identity”, “to sustain and develop the intellectuial and cultural base of the society”, “to give inspiration and pride to citizens”, dan “to promote dialoge for the respect of cultural and social diversity”. Tujuan-tujuan nasional tersebut terlalu penting untuk diserahka kepada lembaga pendidikan tinggi asing dan seharusnya menjadi tanggung-jawab bangsa Indonesia karena tidak mungkin mendapat perhatian sepenuhnya dari penyedia jasa pendidikan komersial luar negeri. Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain.





[1] Mahasiswa Jurusan Manajemen FEB Universitas Airlangga, Surabaya
2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah hasil dari Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
[3] Intan Ahmad, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemristekdikti yang dipublikasikan di http://news.okezone.com/read/2015/12/23/65/1273649/hanya-11-masyarakat-indonesia-mengenyam-perguruan-tinggi
[4] Aman Wirakartakusumah, Rektor Sampoerna University dikutip oleh CNN Indonesia “Kampus di Indonesia Dinilai Harus Terbuka dengan Pihak Asing
6 Otonomi Perguruan Tinggi adalah bentuk kebebasan dan kemandirian Penyelenggara Pendidikan Tinggi untuk mengelola sendiri lembaga pendidikannya.
7 Otonomi Perguruan Tinggi adalah bentuk kebebasan dan kemandirian Penyelenggara Pendidikan Tinggi untuk mengelola sendiri lembaga pendidikannya.
8 Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2005, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEMKM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please submit your additional comment or something, thank you !