Oleh : M.
Ihwanudin 1
Lahir pada akhir 2008, Undang-Undang
No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) harus menemui ajal
pada Rabu, 31 Maret 2010. Setelah melewati proses persidangan panjang, Mahkamah
Konstitusi (Mahkamah) secara bulat menyatakan UU BHP inkonstitusional. Seluruh
materi Undang-Undang ini otomatis ‘batal’ dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Mahkamah menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung
Pemerintah dalam bidang pendidikan. “Dengan adanya UU BHP misi pendidikan
formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan
Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah
(BHPPD).” Padahal UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan memberikan ketentuan
bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara ( www.hukumonline.com ).
Keputusan
Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Undang-Undang tersebut menjadi sebuah titik
kemerdekaan dan kemenangan bangsa Indonesia dalam melawan upaya masuknya paham liberal
dalam dunia Pendidikan Indonesia. Sebelumnya regulasi tersebut banyak menuai pro dan kontra dari berbagai
kalangan baik sivitas akademika dan praktisi dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan,
sejak masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Perdebatan berlanjut
dengan munculnya bebarapa regulasi lain baik Undang-Undang dan Perpres yang
mengisyaratkan Perguruan Tinggi Negeri harus Bebadan Hukum atau yang sering
dikenal PTNBH, dimana PTN tersebut memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang dikhawatirkan berpotensi praktek liberalisasi dan komersialisasi Pendidikan
Tinggi. Disamping itu alasan pragmatis yakni membuat biaya kuliah mahal, yang
berdampak pada semakin sedikit peluang masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
bagi masyarakat yang memiliki keinginan melanjutkan pendidikan tinggi.
Liberalisasi dikemukakan pertama kali oleh Alexander Rustow dan Walter Eucken pada tahun 1930-an yang
lebih dikenal luas dalam bidang ekonomi. Liberalisme memperkenankan
penyelenggara ekonomi pasar secara bebas dan Negara hanya bertugas sebagai
fasilitator pasar bebas tersebut dengan mengeluarkan regulasi atau
undang-undang. Secara harfiah, Liberalisasi berasal dari bahasa Latin
“Liberalis” yang diturunkan dari kata “Liber” yang berarti bebas, merdeka,
tidak terikat dan tidak tergantung”.
Secara
umum, paham liberal ini sangat menjunjug tinggi kebebasan individu dalam
melaksanakan hajat hidupnya, martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (Mangunhardjana, 1997:148). Dengan demikian, Liberalisasi adalah
memberikan kebebasan atau kelulasaan dalam melakukan suatu tindakan.
Liberalisasi menjadi masalah ketika paham ini menyebar
dan dipraktekkan tanpa adanya kontrol dari para penganutnya, rasa optimistis
luar biasa terhadap dirinya sendiri dan merasa tidak perlu ada campur tangan
orang lain atau pihak luar. Regulasi yang telah berlaku bukan untuk membatasi
mobilitas seseorang, namun untuk menjamin dan memberikan proteksi pada gerak
dan perilaku liberalnya. Hampir praktek liberal sering kita temui dalam
beberapa aspek kehidupan.Di
bidang pendidikan, banyak pertentangan berkaitan dengan semakin sulitnya akses
masuk masyarakat ke perguruan tinggi, hampir secara umum terkendala biaya yang
mahal. Ini dianggap bukti pemerintah tak berdaya dalam menyelenggarakan
pendidikan yang bisa dijangkau oleh warga negaranya.
Liberalisasi
lambat laun semakin mendarah daging seiring perkembangan dinamika kehidupan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan berbagai macam
prakteknya. Masyarakat
semakin terbiasa dengan liberalisasi bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang
memberikan hak kelola kepada desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi daerah
administrasi yang lebih dikenal dengan “Otonomi Daerah”. Secara tidak langsung,
sejak berlakunya kebijakan tersebut, pemerintah mencoba memperkenalkan istilah
“Otonomi Pendidikan” kepada masyarakat.
Jika melihat sejarah, Liberaliasi pendidikan adalah konsekuensi
keikutsertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization), yaitu sejak tahun
1994. Rakyat (melalui wakilnya di DPR) secara implisit berarti juga sudah
setuju untuk bergabung dengan WTO, tepatnya sejak diterbitkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”. Sebagai
anggota WTO, berarti Indonesia tentu
saja tidak dapat menghindar dari
berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Apalagi, sejak negara-negara
anggota WTO pada bulan Mei 2005 menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur
liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan,
teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan
selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Tingginya angka putus
sekolah membuat anak-anak Indonesia tidak bisa memiliki kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan, dari jumlah penduduk Indonesia ±
250 juta hanya 11% masyarakat Indonesia yang
bisa mencicipi perkuliahan dengan rentang umur 19-24 tahun. Bila kita bandingkan
dengan negara tetangga seperti Malaysia, 23% sudah dapat menikmati pendidikan
tinggi. Pentingnya meningkatkan penduduk dengan jenjang pendidikan tinggi
untuk meningkatkatkan kompetensi dalam menghadapi persaingan global 3.
Indonesia
ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan.
Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, dan secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah
dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu
internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk “mengundang”
masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk
lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang,
intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi
semacam itulah yang hendak dicapai melalui
General Agreement on Trade in Services
(GATS).
Seperti dikatakan oleh Effendi (2005), dalam tipologi
yang sering digunakan oleh para ekonom, bahwa kegiatan usaha dalam masyarakat
dibagi ke dalam 3 (tiga) sektor. Sektor primer meliputi semua industri
ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri
pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan
utilities. Sektor tersier adalah industri yang mengubah wujud benda fisik (Physical Services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (Information And Communication Services).
Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi ini, WTO beranggapan bahwa pendidikan merupakan salah satu
industri sektor tersier, karena kegiatan utamanya adalah mentransformasi orang
yang tidak atau minim pengetahuan dan ketrampilannya menjadi orang yang
bertambah pengetahuan dan ketrampilannya.
Perdagangan
bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak fundamentalisme pasar
akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan
tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari lokasinya di arena
global, dapat membuka peluang atau menguntungkan tetapi dapat juga merupakan
hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang.Perdagangan bebas
jasa pendidikan tinggi kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi
simetris antar negara atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu
menuju ke pasar kerja global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu
mengembagkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
atau Knowledge Based Economy.
Tapi dalam kondisi interdependensi asimetris dan
lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, sedangkan tujuan-tujuan
pendidikan lainnya akan dikorbankan. WTO telah mengidentifikasi 4
mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-Border Supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri
menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan On-Line Degree Program, atau Mode 1; (2) Consumptionabroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi
yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau
Mode 2; (3) Commercial
presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk Partnership,
Subsidiary, Twinning Arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode
3, dan (4)
Presence Of Natural Persons, dosen
atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4.
Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan
oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah Negara-negara anggota tidak
menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan
intervensionis.
Hingga
saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan
yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru.
Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sumur
hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia
membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian
yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk
membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit mungkin adalah
pendorong utamanya, perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok,
yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer
nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 2004).
Masuknya asing dalam sektor pendidikan
tanah air memang masih belum signifikan, beda dengan sektor lainnya dan banyak
menuai Pro-Kontra kalangan masyarakat. Universitas di Indonesia dinilai
harus membuka diri terhadap pihak asing untuk meningkatkan kapasitasnya. Dengan
bekerja sama dengan universitas dari luar negeri yang telah mumpuni, maka akan
turut meningkatkan kapasitas mahasiswa. Indonesia sebaiknya mencontoh Singapura
dan Malaysia yang telah lebih dulu menerapkan sistem terbuka seperti itu. Ketika Massachusetts Institute of
Technology (MIT) datang ke Singapore, pemerintah Singapore mengakomodasi dengan
memberi fasilitas lahan dan lainnya. Mereka sangat menyambut kedatangan
universitas asing. Alhasil, kualitas
pendidikan Singapura semakin meningkat, dan orang-orang Indonesia pun malah ke sana untuk belajar.
Saat ini ada 5,6 juta siswa di
Indonesia yang berada di tingkat sekolah dasar namun hanya 2,3 juta siswa yang
menamatkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Lalu, sebanyak 22 persen orang
Indonesia yang berusia 15 hingga 24 tahun tidak memiliki pekerjaan. Sementara
itu, dalam tingkat universitas, hanya tiga universitas di Indonesia yang mampu
bertengger ke dalam 400 universitas terbaik secara global. Kenyataannya, hingga saat ini belum ada satu
universitas pun dari Indonesia yang mampu masuk ke dalam 100 universitas
teratas di Asia atau global. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak perguruan
tinggi asing bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia4.
Selain dukungan leberalisasi diatas, beberapa
kalangan ada yang menolak/kontra bentuk otonomi pendidikan tinggi karena masih
dianggap belum jelas mengenai pelaksanaan dan pengawasannya serta syarat akan
liberalisasi. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai kebangsaan dan luhur
pendidikan akan sirna dan sulitnya akses bagi masyarakat kurang mampu untuk menikmati
pendidikan tinggi yang berkualitas, karena adanya deregulasi atau hilangnya
peran pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan,
justru dilaksanakan oleh asing yang cenderung liberal dalam menetapkan biaya
pendidikan yang mahal. Keyataan, memang pemerintah memberi bantuan pendidikan
tinggi bagi kalangan miskin yaitu Bidik Misi yang jumlahnya ditargetkan naik 15
ribu di tahun 2016 dari 60 ribu menjadi 75 ribu kuota yang diperebutkan oleh
jutaan masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan tingginya dengan jumlah
uang biaya hidup ditargetkan naik dari Rp 600 ribu menjadi Rp 1 juta, angka ini
menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan ekonomi makro5.
Bahkan bayak kasus mahasiswa yang berhenti melanjutkan kuliah karena
mahalnya biaya kuliah. Seperti yang dialami teman penulis inisial MT yang
terancam DO (Drop Out) lantaran biaya
kuliah yang terlampau mahal. Hal ini terjadi di salah satu universitas berlabel
PTNBH di Surabaya yang saat ini menempati peringkat 4 Indonesia, meskipun kabar
ini lenyap dan kurang terekspos media. Dengan beban UKT yang hampir Rp
7.000.000 tiap semester sekalipun dengan menempuh jalur Banding UKT untuk
mengharap keringanan dari manajemen universitas, hal itu nihil. Dengan semangat
solidaritas, beberapa kawan mahasiswa lainnya saling gotong-royong menyisahkan
uang untuk membantu MT hingga terkumpul uang hampir Rp 8.000.000 dimana uang
tersebtu dialokasikan untuk membayar UKT dan biaya hidup di Surabaya. Ini bukti
nyata lemahnya pemerintah dan kuatnya liberalisai pendidikan tinggi di tanah
air.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi, Bagian Ke-5 Pengelolaan Perguruan Tinggi, Pasal 62, (1)
Perguruan Tinggi memiliki otonomi 6 untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma 7. Dilanjutkan
dalam Pasal 36 bahwa Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip :
(a) Akuntabilitas, (b) Transparansi, (c)
Nirlaba, (d) Penjaminan Mutu ;dan, (e) Efektivitas dan efisiensi. Dalam bab ini
juga disebutkan bahwa Penyelenggara
Pendidikan Tinggi memiliki hak Otonomi yang meliputi bidang akademik dan
nonakademik.
Selain itu, Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 6 bahwa perguruan tinggi
menentukan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
Selanjutnya dalam Pasal 51 Ayat 1-2 bahwa : (a) pengelolaan satuan pendidikan,
anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah, dan (b) pengelolaan pendidikan tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminana mutu, dan evaluasi
transparan.
Berdasarkan kebijakan di atas, memang tidak secara
terbuka pemerintah mendukung liberalisasi pendidikan, namun dengan adanya
otonomi Pendidikan Tinggi memungkinkan praktek liberalisasi pendidikan
Indonesia akan benar-benar terjadi.Hal
yang kentara ketika pelepasan tanggung jawab pemerintah, melihat dari
pengalaman PTNBH seperti UI, ITB, UGM, UNAIR, IPB, USU,dan UPI yang semakin
mahal dan sulit terjangkau oleh kalangan bawah yang
seharusnya mendapat perhatian pemerintah sesuai amanat UUD 1945. Potensi liberalisasi pendidikan
tinggi begitu besar melalui otonomi pendidikan tinggi bagi PTNBH. Berbagai
alasan yang kemungkinan banyak dipakai adalah meningkatkan mutu akademik dan
non akademik, memperkuat posisi dalam persaingan dan memperkuat keuangan
universitas.
Alasan tersebut memang perlu terealisasi, masalahnya
adalah bagaimana pelaksanaan dan pengawasan yang masih abstrak. Budaya criminal
dan korupsi masih tinggi di negeri setengah demokrasi ini. Seakan-akan tidak
ada orang yang amanah dalam menjalankan tugas sesuai dengan aturan. Beberapa hal
menurut penulis dengan adanya PTNBH yang memiliki hak otonomi pendidikan tinggi
justru membuka peluang liberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Salah
satunya dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal
65 ayat 3 berbunyi PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. kekayaan
awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;. Hal ini memang benar karena tanah yang diduduki merupakan milik Negara
sebisa mungkin setiap kegiatan komersial mampu menghasilkan pemasukan bagi
Negara. Kerjasama yang melibatkan Universitas dengan pihak perusahaan demi
mendukung pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Tentunya akan ada MOU yang
isinya rahasia. Pengalaman yang penulis dapat selam ini kerjasama yang
melibatkan korporat lebih cenderung kepada bisnis di dalam universitas. Mereka
memanfaatkan jumlah mahasiswa untuk memasarkan produk ketimbang isu-isu
pengembangan pendidikan meskipun tujuan baik untuk memperkuat keuangan
universitas.
Liberaliasi
sesungguhnya diperlukan untuk memberikan keleluasaan kepada stakeholders dalam
menyelenggarakan pendidikan, misalnya melalui pemberian kesempatan kepada
swasta ikut menyelenggarakan pendidikan, pemberlakuan otonomi pendidikan
tinggi, serta Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun demikian perundangan yang
mengatur liberalisasi ini harus mampu mengakomodasi keberlangsungan nilai-nilai
luhur bangsa, dilakukan secara gradual sesuai dengan tingkat perkembangan
masyarakat, dan memberikan batasan yang tegas
agar masuknya pemodal
asing (penyelenggara pendidikan luar negeri) tidak mematikan
penyelenggara pendidikan lokal. Hal ini dikarenakan titik krusial penolakan
sejumah kalangan terhadap liberalisasi pendidikan adalah pada konteks
terbukanya peluang asing mendikte sistem pendidikan nasional dan berubahnya
lembaga pendidikan yang bernuansa sosial menjadi ajang bisnis.
Dalam
hal ini, perlu diwaspadai bahwa pendidikan dan khusunya pendidikan tinggi bukan
semata-mata jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, tetapi yang penting
adalah proses untuk “to preserve national
identity”, “to sustain and develop the intellectuial and cultural base of the
society”, “to give inspiration and pride to citizens”, dan “to promote dialoge
for the respect of cultural and social diversity”. Tujuan-tujuan nasional
tersebut terlalu penting untuk diserahka kepada lembaga pendidikan tinggi asing
dan seharusnya menjadi tanggung-jawab bangsa Indonesia karena tidak mungkin
mendapat perhatian sepenuhnya dari penyedia jasa pendidikan komersial luar
negeri. Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan
sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan
dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang
simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain.
2 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah hasil dari Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945
Intan
Ahmad, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemristekdikti yang
dipublikasikan di http://news.okezone.com/read/2015/12/23/65/1273649/hanya-11-masyarakat-indonesia-mengenyam-perguruan-tinggi
8 Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta tahun 2005, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam
Pendidkan” diselenggarakan oleh BEMKM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005.