Tampilkan postingan dengan label Isue Pendidikan Tinggi Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Isue Pendidikan Tinggi Indonesia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Oktober 2021

STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM) BERBASIS VARIAN: Konsep Dasar dan Aplikasi dengan Program SmartPLS 3.2.8 dalam Riset Bisnis


Surabaya, 29 October 2021. Structural Equation Modeling (SEM) adalah teknik analisis statistik multivariat yang digunakan untuk menganalisis hubungan struktural. Teknik ini merupakan kombinasi dari analisis faktor dan analisis regresi berganda, dan digunakan untuk menganalisis hubungan struktural antara variabel terukur dan konstruksi laten. Metode ini lebih disukai oleh peneliti karena memperkirakan ketergantungan ganda dan saling terkait dalam satu analisis. Dalam analisis ini digunakan dua jenis variabel yaitu variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel endogen setara dengan variabel dependen dan sama dengan variabel independen.

Kapan Menggunakan PLS-SEM (dan Kapan Tidak)

Rambut dkk. (2019), hal. 5: "Peneliti harus memilih PLS-SEM:

  • ketika analisis berkaitan dengan pengujian kerangka teoretis dari perspektif prediksi;
  • ketika model struktural kompleks dan mencakup banyak konstruksi, indikator dan/atau hubungan model;
  • ketika tujuan penelitian adalah untuk lebih memahami kompleksitas yang meningkat dengan mengeksplorasi perluasan teoritis dari teori-teori yang sudah mapan (penelitian eksplorasi untuk pengembangan teori);
  • ketika model jalur mencakup satu atau lebih konstruksi yang diukur secara formatif;
  • ketika penelitian terdiri dari rasio keuangan atau jenis artefak data yang serupa;
  • ketika penelitian didasarkan pada data sekunder/arsip, yang mungkin tidak memiliki dasar yang komprehensif atas dasar teori pengukuran;
  • ketika populasi kecil membatasi ukuran sampel (misalnya penelitian bisnis-ke-bisnis); tetapi PLS-SEM juga bekerja sangat baik dengan ukuran sampel yang besar;
  • ketika masalah distribusi menjadi perhatian, seperti kurangnya normalitas; dan
  • ketika penelitian membutuhkan skor variabel laten untuk analisis tindak lanjut."
Berikut ini ebook yang menjadi panduan untuk memahami praktek aplikasi SmartPLS berbasis versi 3.2.8.

STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM) BERBASIS VARIAN: Konsep Dasar dan Aplikasi dengan Program SmartPLS 3.2.8 dalam Riset Bisnis
Rahmad Solling Hamid, S.E., M.M dan Dr. Suhardi M Anwar, Drs., M.M
Penulis: Rahmad Solling Hamid, S.E., M.M dan Dr. Suhardi M Anwar, Drs., M.M
Editor: Abiratno, Sofa Nurdiyanti, Dra. Annis Diniati Raksanagara, M.Si.
Desainer isi: Ahmad Nashir
Desainer Sampul: Fachmy Casofa
Cetakan 1, Juni 2019
ISBN: 978-602-53911-7-0

Diterbitkan oleh
PT Inkubator Penulis Indonesia
(Institut Penulis Indonesia)
Anggota Ikapi DKI Jakarta No. 541/DKI/2017
Jalan Kramat Raya (Kompleks Ruko Maya Indah No. 5H), Senen,
Jakarta Pusat
Telp. (021) 390923
pos-el: institutpenulis.id@gmail.com
www.institutpenulis.id

Berikut link download:


Terima kasih atas kunjungannya, semoga membantu!

Senin, 26 April 2021

mind mapping hasil kongres VII sampai dengan XI bahasa Indonesia FULL IMAGE FREE

 

Source: Google Image

Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa Indonesia berdasarkan hasil kongres VII s. d. XI dengan menggunakan peta konsep (mind mapping).

Haiiiiiiiii readers, aku tahu kalian pasti mahasiswa/i yang berasal dari hemmmmmm UT kan!!!. Yes udah aku buatin neh mind-mapping terbaru akumulasi dari kongres ke 7 sampai 11.


Source: Made by Admin

Untuk kalian yang mau gambar secara gratis silahkan akses dan download secara gratis di bawah ini!

👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇


👆👆👆👆👆👆👆👆👆👆👆

Selamat mencoba, jangan lupa bagikan informasi ini kepada temanmu !



Jumat, 23 April 2021

Kunci Jawaban Tugas Tutorial 1 MKDU Bahasa Indonesia FULL GRATIS

Kerjakanlah soal-soal berikut ini dengan baik

  1. Jelaskan fungsi bahasa menurut M.A.K. Halliday.
  2. Jelaskanlah perkembangan (peningkatan) bahasa Indonesia berdasarkan hasil kongres VII s.d. XI dengan menggunakan peta konsep (mind mapping).
  3. Bacalah artikel berikut dengan menerapkan teknik SQ3R
Sisi Positif Parenting Budaya Jepang

Oleh: Buyung Okita

Parenting menjadi isu yang hangat dewasa ini. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk lebih mempelajari bagaimana ilmu-ilmu parenting agar dapat diimplementasikan bagi putra-putrinya, atau sebagai bekal untuk membina rumah tangga di kemudian hari. Terdapat 4 jenis gaya parenting, yaitu gaya asuh otoriter, berwibawa, permisif, dan terlalu protektif. berikut adalah sedikit penjelasan mengenai keempat gaya asuh tersebut.

 1)     Hubungan antara orang tua dan anak yang sangat dekat

Ibu dan anak memiliki hubungan yang sangat dekat. Setidaknya sampai usia 5 tahun anak tidur bersama orangtuanya. Ibu juga selalu menemani di manapun anaknya berada. Tidak jarang kita melihat ibu menggendong anaknya sambil melakukan kegiatan rumah seperti menyapu, memasak, berbelanja, dan lain-lain. Bahkan hampir setiap perempuan yang telah melahirkan dan menjadi ibu rela untuk berhenti bekerja dan fokus untuk mendidik anaknya di rumah.

Pada usia 0-5 tahun, anak juga diajak untuk bersosialisasi dengan keluarga dan kerabat sehingga dapat lebih mengenal saudara dan mudah bersosialisasi. Orang tua di Jepang juga beranggapan bahwa sebisa mungkin menemani putra-putrinya sehingga anak merasakan kasih sayang orangtuanya.

2. Orang tua adalah cerminan anak

Setelah fase usia 5 tahun, anak boleh bereksplorasi melakukan sesuatu, lalu usia 5-15 tahun anak mulai diajari untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan rumah, belajar untuk disiplin, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang tua. Fase ini mengajari anak-anak untuk dapat berkontribusi melakukan cara-cara yang telah dilakukan secara turun temurun. Pada fase ini orangtua memberikan batasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban anak, apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. 

Oleh karena itu kegiatan pendidikan moral di sekolah juga mulai diajarkan, tidak hanya sebagai mata pelajaran yang diselipkan pada mata pelajaran lain. Di sini anak diajarkan dan diberikan ruang untuk melakukan kegiatan sosial seperti saling melayani, kegiatan makan siang di sekolah, dan kegiatan lain yang juga kerap dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia. Kegiatan sekolah dan rumah yang bersifat rutin, meskipun terkesan monoton merupakan cara Jepang untuk menbuat anak-anak belajar untuk disiplin.

3. Orang tua dan anak adalah setara

Setelah anak berusia 15 tahun, orang tua mulai memberikan ruang agar anak dapat lebih mandiri dengan mengurangi batasan yang diterapkan pada fase sebelumnya. Hubungan tidak hanya sebagai orang tua dan anak, tetapi juga sebagai teman dan setara. Anak didukung untuk menjadi pribadi yang mandiri, dapat berpikir dan menentukan pilihan dan lebih bersifat demokratis.

Fase ini mempersiapkan anak untuk melakukan kegiatan keterampilan bagi dirinya sendiri dan keluarga serta belajar bertingkah laku yang baik dan sopan (menurut adat Jepang). Anak mulai diajarkan independent (mandiri) dan dipersiapkan untuk dapat siap menjadi orang dewasa. Setelah usia 20 tahun anak dianggap resmi menjadi dewasa dengan biasanya diadakan upacara hari kedewasaan yang diselenggarakan di distrik/kota setempat yang diikuti oleh pemuda berusia 20 tahun. 

 4. Memperhatikan tentang perasaan dan emosi

Selain mengajari dan mempersiapkan anak untuk dapat hidup di komunitas sosial masyarakat yang lebih luas, anak juga diberikan semangat untuk dapat memahami dan menghormati perasaanya sendiri. Orang tua mengajarkan anaknya untuk melakukan hal yang tidak mempermalukannya. Contohnya tidak menegur anaknya atau menasehati anaknya di muka umum ketika melakukan hal yang dirasa kurang pantas. Orangtua memilih menunggu situasi dan tempat yang lebih privasi untuk menasehatinya. Anak diajarkan untuk dapat memiliki sikap empati dan saling menghormati orang lain.

Orang tua di Jepang tidak menggangap gaya asuh mereka menjadi gaya asuh yang terbaik. Begitu pula dewasa ini nilai budaya barat pun menginsipirasi cara orangtua di Jepang dalam mendidik anaknya. Meskipun terjadi pergeseran dan perubahan, namun gaya asuh orang tua di Jepang yang menyayangi putra-putrinya tidak berubah.

Setelah membaca gaya asuh orang tua di Jepang, dapat dipahami bahwa gaya asuh mereka merupakan perpaduan antara sedikit gaya permisif dan gaya authoritative (berwibawa). Demikian, perbedaan gaya asuh orang tua di amerika dan gaya asuh orang tua di Jepang.

Setelah Anda membaca artikel di atas, selesaikanlah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

1.     Temukanlah informasi awal, identitas, dan topik artikel! (langkah survey)

2.     Buatlah tiga pertanyaan yang relevan dengan isi teks! (langkah question)

3.     Temukanlah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibuat pada nomor 2! (langkah read)

4.     Catatlah dengan bahasa sendiri jawaban-jawaban yang sudah ditemukan pada nomor 3!  (langkah recite)

5.      Catatlah informasi utama dari artikel di atas! (langkah review)


Source of Original Article down below:

Sisi Positif Parenting Budaya Jepang


============ KUNCI JAWABAN ==============


 File Download

=== ZippyShare ===

Word File Kunci Jawaban ==> kamu butuh file Password Penting

=== Google Drive ===

Word File Kunci Jawaban ==> kamu harus pakai Password Khusus

JANGAN LUPA SHARE DENGAN TEMAN-TEMANMU, CMIWWW


👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇

 ✔ Tutorial Download File ✔ 



Jumat, 14 Juli 2017

eMarketing The essential guide to marketing in a digital world 5th Edition by Rob Stokes and the Minds of Quirk Full Free Download


This concept provides a detailed explanation of the uses of electronic communication technologies, such as the Internet, mobile phones and digital televisions, to accomplish marketing objectives.
e-Marketing Definition e-Commerce describes the exploitation of electronic means and platforms to conduct company business. e-Marketing (also referred to as web marketing or internet marketing) uses electronic communication technologies including the Internet, mobile phones and digital televisions to accomplish marketing objectives (McDonald and Wilson, 1999). More specifically, e-Marketing portrays company efforts to inform and communicate with buyers, and promote and sell its products and services over the Internet (Kotler and Keller, 2006).

E-Marketing merupakan sebuah tren penggunaan internet sebagai salah satu media untuk membangun strategi pemasaran yang modern untuk memahami perubahan pasar sebagai target pemasaran produk perusahaan. Berkembangnya internet diikuti dengan tumbuhnya aplikasi-aplikasi media sosial, dimana mayorita pasar berada dan berinterkasi disitu. sebagai contoh, lahirnya Instagram memunculkan tren pemasaran dengan menampilkan foto yang profesional dengan bantuan para pemberi pengaruh (influencer/endorser/buzzer) yang mempresentasikan prosuk perusahaan dengan tujuan membangun pengetahuan (knowledge), sehingga target pasar mengetahui keberadaan produk (aware), dan secara psikologis akan memengaruhi perilaku konsumen dalam membuat keputusan pembelian produk.

selebihnya, silahkan pelajari melalui e-book eMarketing The essential guide to marketing in a digital world 5th Edition by Rob Stokes and the Minds of Quirk berikut :

MediaFire
Uppit
clicknupload

those are links of the ebook, for has more keep waiting the latest update from me, hope you always enjoy downloading it....

Consumer Behavior Buying, Having, and Being 10th Edition by Michael R. Solomon

CONSUMER BEHAVIUOR


Buat kalian udah sempet mampir ke laman sebelumnya yang sudah aku bagikan E-Book Perilaku Konsumen edisi 3. Nah, kali ini aku bakal bagiin ke kalian para mahasiswa E-Book Perilaku Konsumen dari Solomon tapi edisi yang lebih tinggi. Yup ! Consumer Behaviour 10th Edition by Solomon.

Media
Shorte.st
AdFly
Google Drive
MediaFire
Download Here !

These are links I can shared to you, hope you always remember this blog and enjoy it !

Minggu, 28 Februari 2016

Ancaman Hegemoni Liberalisasi Komoditas Pendidikan Tinggi

Oleh : M. Ihwanudin 1
Lahir pada akhir 2008, Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) harus menemui ajal pada Rabu, 31 Maret 2010. Setelah melewati proses persidangan panjang, Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) secara bulat menyatakan UU BHP inkonstitusional. Seluruh materi Undang-Undang ini otomatis ‘batal’ dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah menilai UU BHP telah mengalihkan tugas dan tanggung Pemerintah dalam bidang pendidikan. “Dengan adanya UU BHP misi pendidikan formal yang menjadi tugas pemerintah di Indonesia akan dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD).” Padahal UUD 1945 Pasal 31 tentang Pendidikan memberikan ketentuan bahwa tanggung jawab utama pendidikan ada di negara ( www.hukumonline.com ).
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Undang-Undang tersebut menjadi sebuah titik kemerdekaan dan kemenangan bangsa Indonesia dalam melawan upaya masuknya paham liberal dalam dunia Pendidikan Indonesia. Sebelumnya regulasi tersebut banyak menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan baik sivitas akademika dan praktisi dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan, sejak masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Perdebatan berlanjut dengan munculnya bebarapa regulasi lain baik Undang-Undang dan Perpres yang mengisyaratkan Perguruan Tinggi Negeri harus Bebadan Hukum atau yang sering dikenal PTNBH, dimana PTN tersebut memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan pendidikan yang dikhawatirkan berpotensi praktek liberalisasi dan komersialisasi Pendidikan Tinggi. Disamping itu alasan pragmatis yakni membuat biaya kuliah mahal, yang berdampak pada semakin sedikit peluang masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bagi masyarakat yang memiliki keinginan melanjutkan pendidikan tinggi.
Liberalisasi dikemukakan pertama kali oleh Alexander Rustow dan Walter Eucken pada tahun 1930-an yang lebih dikenal luas dalam bidang ekonomi. Liberalisme memperkenankan penyelenggara ekonomi pasar secara bebas dan Negara hanya bertugas sebagai fasilitator pasar bebas tersebut dengan mengeluarkan regulasi atau undang-undang. Secara harfiah, Liberalisasi berasal dari bahasa Latin “Liberalis” yang diturunkan dari kata “Liber” yang berarti bebas, merdeka, tidak terikat dan tidak tergantung”.
Secara umum, paham liberal ini sangat menjunjug tinggi kebebasan individu dalam melaksanakan hajat hidupnya, martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (Mangunhardjana, 1997:148). Dengan demikian, Liberalisasi adalah memberikan kebebasan atau kelulasaan dalam melakukan suatu tindakan.
Liberalisasi menjadi masalah ketika paham ini menyebar dan dipraktekkan tanpa adanya kontrol dari para penganutnya, rasa optimistis luar biasa terhadap dirinya sendiri dan merasa tidak perlu ada campur tangan orang lain atau pihak luar. Regulasi yang telah berlaku bukan untuk membatasi mobilitas seseorang, namun untuk menjamin dan memberikan proteksi pada gerak dan perilaku liberalnya. Hampir praktek liberal sering kita temui dalam beberapa aspek kehidupan.[2]Di bidang pendidikan, banyak pertentangan berkaitan dengan semakin sulitnya akses masuk masyarakat ke perguruan tinggi, hampir secara umum terkendala biaya yang mahal. Ini dianggap bukti pemerintah tak berdaya dalam menyelenggarakan pendidikan yang bisa dijangkau oleh warga negaranya.
Liberalisasi lambat laun semakin mendarah daging seiring perkembangan dinamika kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan berbagai macam prakteknya. Masyarakat semakin terbiasa dengan liberalisasi bersamaan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan hak kelola kepada desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi daerah administrasi yang lebih dikenal dengan “Otonomi Daerah”. Secara tidak langsung, sejak berlakunya kebijakan tersebut, pemerintah mencoba memperkenalkan istilah “Otonomi Pendidikan” kepada masyarakat.
Jika melihat sejarah, Liberaliasi pendidikan adalah konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO (World Trade Organization), yaitu sejak tahun 1994. Rakyat (melalui wakilnya di DPR) secara implisit berarti juga sudah setuju untuk bergabung dengan WTO, tepatnya sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”. Sebagai anggota WTO,  berarti Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari  berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa  pendidikan. Apalagi, sejak negara-negara anggota WTO pada bulan Mei 2005 menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Tingginya angka putus sekolah membuat anak-anak Indonesia tidak bisa memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Bahkan, dari jumlah penduduk Indonesia ± 250 juta hanya 11% masyarakat Indonesia yang bisa mencicipi perkuliahan dengan rentang umur 19-24 tahun. Bila kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, 23% sudah dapat menikmati pendidikan tinggi. Pentingnya meningkatkan penduduk dengan jenjang pendidikan tinggi untuk meningkatkatkan kompetensi dalam menghadapi persaingan global 3.
Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan. Karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, dan secara umum mutu pendidikan nasional kita, mulai dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sector jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Seperti dikatakan oleh Effendi (2005), dalam tipologi yang sering digunakan oleh para ekonom, bahwa kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi ke dalam 3 (tiga) sektor. Sektor primer meliputi semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri yang mengubah wujud benda fisik (Physical Services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (Information And Communication Services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi ini, WTO beranggapan  bahwa pendidikan merupakan salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan utamanya adalah mentransformasi orang yang tidak atau minim pengetahuan dan ketrampilannya menjadi orang yang bertambah pengetahuan dan ketrampilannya.
Perdagangan bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari lokasinya di arena global, dapat membuka peluang atau menguntungkan tetapi dapat juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang.Perdagangan bebas jasa pendidikan tinggi kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antar negara atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu menuju ke pasar kerja global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu mengembagkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan atau Knowledge Based Economy.
Tapi dalam kondisi interdependensi asimetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, sedangkan tujuan-tujuan pendidikan lainnya akan dikorbankan. WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-Border Supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan On-Line Degree Program, atau Mode 1; (2) Consumptionabroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2; (3) Commercial

presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk Partnership,
Subsidiary, Twinning Arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan (4)
Presence Of Natural Persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah Negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sector jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif for-profit mungkin adalah pendorong utamanya, perlu kita sadari bahwa pendidikan mempunyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (Van Glinken, 2004).
Masuknya asing dalam sektor pendidikan tanah air memang masih belum signifikan, beda dengan sektor lainnya dan banyak menuai Pro-Kontra kalangan masyarakat. Universitas di Indonesia dinilai harus membuka diri terhadap pihak asing untuk meningkatkan kapasitasnya. Dengan bekerja sama dengan universitas dari luar negeri yang telah mumpuni, maka akan turut meningkatkan kapasitas mahasiswa. Indonesia sebaiknya mencontoh Singapura dan Malaysia yang telah lebih dulu menerapkan sistem terbuka seperti itu. Ketika Massachusetts Institute of Technology (MIT) datang ke Singapore, pemerintah Singapore mengakomodasi dengan memberi fasilitas lahan dan lainnya. Mereka sangat menyambut kedatangan universitas asing. Alhasil, kualitas pendidikan Singapura semakin meningkat, dan orang-orang Indonesia pun malah ke sana untuk belajar.
Saat ini ada 5,6 juta siswa di Indonesia yang berada di tingkat sekolah dasar namun hanya 2,3 juta siswa yang menamatkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Lalu, sebanyak 22 persen orang Indonesia yang berusia 15 hingga 24 tahun tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu, dalam tingkat universitas, hanya tiga universitas di Indonesia yang mampu bertengger ke dalam 400 universitas terbaik secara global. Kenyataannya, hingga saat ini belum ada satu universitas pun dari Indonesia yang mampu masuk ke dalam 100 universitas teratas di Asia atau global. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak perguruan tinggi asing bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia4.
Selain dukungan leberalisasi diatas, beberapa kalangan ada yang menolak/kontra bentuk otonomi pendidikan tinggi karena masih dianggap belum jelas mengenai pelaksanaan dan pengawasannya serta syarat akan liberalisasi. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai kebangsaan dan luhur pendidikan akan sirna dan sulitnya akses bagi masyarakat kurang mampu untuk menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas, karena adanya deregulasi atau hilangnya peran pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan, justru dilaksanakan oleh asing yang cenderung liberal dalam menetapkan biaya pendidikan yang mahal. Keyataan, memang pemerintah memberi bantuan pendidikan tinggi bagi kalangan miskin yaitu Bidik Misi yang jumlahnya ditargetkan naik 15 ribu di tahun 2016 dari 60 ribu menjadi 75 ribu kuota yang diperebutkan oleh jutaan masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan tingginya dengan jumlah uang biaya hidup ditargetkan naik dari Rp 600 ribu menjadi Rp 1 juta, angka ini menyesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan ekonomi makro5.
Bahkan bayak kasus mahasiswa yang berhenti melanjutkan kuliah karena mahalnya biaya kuliah. Seperti yang dialami teman penulis inisial MT yang terancam DO (Drop Out) lantaran biaya kuliah yang terlampau mahal. Hal ini terjadi di salah satu universitas berlabel PTNBH di Surabaya yang saat ini menempati peringkat 4 Indonesia, meskipun kabar ini lenyap dan kurang terekspos media. Dengan beban UKT yang hampir Rp 7.000.000 tiap semester sekalipun dengan menempuh jalur Banding UKT untuk mengharap keringanan dari manajemen universitas, hal itu nihil. Dengan semangat solidaritas, beberapa kawan mahasiswa lainnya saling gotong-royong menyisahkan uang untuk membantu MT hingga terkumpul uang hampir Rp 8.000.000 dimana uang tersebtu dialokasikan untuk membayar UKT dan biaya hidup di Surabaya. Ini bukti nyata lemahnya pemerintah dan kuatnya liberalisai pendidikan tinggi di tanah air.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Bagian Ke-5 Pengelolaan Perguruan Tinggi, Pasal 62, (1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi 6 untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma 7. Dilanjutkan dalam Pasal 36 bahwa Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip :
 (a) Akuntabilitas, (b) Transparansi, (c) Nirlaba, (d) Penjaminan Mutu ;dan, (e) Efektivitas dan efisiensi. Dalam bab ini juga disebutkan bahwa Penyelenggara  Pendidikan Tinggi memiliki hak Otonomi yang meliputi bidang akademik dan nonakademik.
            Selain itu, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 6 bahwa perguruan tinggi menentukan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Selanjutnya dalam Pasal 51 Ayat 1-2 bahwa : (a) pengelolaan satuan pendidikan, anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah, dan (b) pengelolaan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminana mutu, dan evaluasi transparan.
Berdasarkan kebijakan di atas, memang tidak secara terbuka pemerintah mendukung liberalisasi pendidikan, namun dengan adanya otonomi Pendidikan Tinggi memungkinkan praktek liberalisasi pendidikan Indonesia akan benar-benar terjadi.Hal yang kentara ketika pelepasan tanggung jawab pemerintah, melihat dari pengalaman PTNBH seperti UI, ITB, UGM, UNAIR, IPB, USU,dan UPI yang semakin mahal dan sulit terjangkau oleh kalangan bawah yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah sesuai amanat UUD 1945. Potensi liberalisasi pendidikan tinggi begitu besar melalui otonomi pendidikan tinggi bagi PTNBH. Berbagai alasan yang kemungkinan banyak dipakai adalah meningkatkan mutu akademik dan non akademik, memperkuat posisi dalam persaingan dan memperkuat keuangan universitas.
Alasan tersebut memang perlu terealisasi, masalahnya adalah bagaimana pelaksanaan dan pengawasan yang masih abstrak. Budaya criminal dan korupsi masih tinggi di negeri setengah demokrasi ini. Seakan-akan tidak ada orang yang amanah dalam menjalankan tugas sesuai dengan aturan. Beberapa hal menurut penulis dengan adanya PTNBH yang memiliki hak otonomi pendidikan tinggi justru membuka peluang liberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Salah satunya dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 65 ayat 3 berbunyi PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;. Hal ini memang benar karena tanah yang diduduki merupakan milik Negara sebisa mungkin setiap kegiatan komersial mampu menghasilkan pemasukan bagi Negara. Kerjasama yang melibatkan Universitas dengan pihak perusahaan demi mendukung pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Tentunya akan ada MOU yang isinya rahasia. Pengalaman yang penulis dapat selam ini kerjasama yang melibatkan korporat lebih cenderung kepada bisnis di dalam universitas. Mereka memanfaatkan jumlah mahasiswa untuk memasarkan produk ketimbang isu-isu pengembangan pendidikan meskipun tujuan baik untuk memperkuat keuangan universitas.
Liberaliasi sesungguhnya diperlukan untuk memberikan keleluasaan kepada stakeholders dalam menyelenggarakan pendidikan, misalnya melalui pemberian kesempatan kepada swasta ikut menyelenggarakan pendidikan, pemberlakuan otonomi pendidikan tinggi, serta Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun demikian perundangan yang mengatur liberalisasi ini harus mampu mengakomodasi keberlangsungan nilai-nilai luhur bangsa, dilakukan secara gradual sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat, dan memberikan batasan yang tegas   agar   masuknya   pemodal   asing   (penyelenggara  pendidikan luar negeri) tidak mematikan penyelenggara pendidikan lokal. Hal ini dikarenakan titik krusial penolakan sejumah kalangan terhadap liberalisasi pendidikan adalah pada konteks terbukanya peluang asing mendikte sistem pendidikan nasional dan berubahnya lembaga pendidikan yang bernuansa sosial menjadi ajang bisnis.
Dalam hal ini, perlu diwaspadai bahwa pendidikan dan khusunya pendidikan tinggi bukan semata-mata jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, tetapi yang penting adalah proses untuk “to preserve national identity”, “to sustain and develop the intellectuial and cultural base of the society”, “to give inspiration and pride to citizens”, dan “to promote dialoge for the respect of cultural and social diversity”. Tujuan-tujuan nasional tersebut terlalu penting untuk diserahka kepada lembaga pendidikan tinggi asing dan seharusnya menjadi tanggung-jawab bangsa Indonesia karena tidak mungkin mendapat perhatian sepenuhnya dari penyedia jasa pendidikan komersial luar negeri. Untuk itu pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain.





[1] Mahasiswa Jurusan Manajemen FEB Universitas Airlangga, Surabaya
2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah hasil dari Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
[3] Intan Ahmad, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemristekdikti yang dipublikasikan di http://news.okezone.com/read/2015/12/23/65/1273649/hanya-11-masyarakat-indonesia-mengenyam-perguruan-tinggi
[4] Aman Wirakartakusumah, Rektor Sampoerna University dikutip oleh CNN Indonesia “Kampus di Indonesia Dinilai Harus Terbuka dengan Pihak Asing
6 Otonomi Perguruan Tinggi adalah bentuk kebebasan dan kemandirian Penyelenggara Pendidikan Tinggi untuk mengelola sendiri lembaga pendidikannya.
7 Otonomi Perguruan Tinggi adalah bentuk kebebasan dan kemandirian Penyelenggara Pendidikan Tinggi untuk mengelola sendiri lembaga pendidikannya.
8 Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2005, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEMKM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005.